Tatapanku terpaku kepada genangan air hujan semalam. Bukan genangan yang kuamati, tapi wajahnya. Lelaki yang berrahang tegas, dagunya lancip, berkulit putih, bermata sayu, hidungnya menjulang mancung. Dia lelaki pertama yang mengajakku menduduki jok motor merahnya. Dia lelaki yang membuat jantungku menyemburkan darah lebih banyak dari biasa. Dia lelaki yang menyemburkan jelaga benci di dinding hatiku. Dia yang dulu menggemakan kata cinta. Untukku.
Apa kabarnya sekarang? Entahlah.
Kami telah menghilangkan kebiasaan meracau melalui teks pesan dari pagi hingga pagi kembali. Kami telah mengganti kebiasaan itu menjadi sepoi kenangan yang kini kurindu. Yang kurasa telah berlalu. Apa pula yang musti kami sesalkan. Dari awal ini memang salah. Aku yang salah.
Tapi Tuhan, aku memang tau perpisahan yang Kau takdirkan adalah yang terbaik untukku dan untuk segala sesuatunya. Dan aku mengerti Kau tak ingin membuatku lebih tersakiti dibanding kini suatu saat nanti. Satu yang tidak kumengerti dan belum kumengerti sampai detik ini, aku memang telah mampu menghilangkan segenap kesedihan dalam relung jiwaku, dan itu karena seseorang. Seseorang yang pernah dan tengah kucinta. Sesosok masa lalu. Cintaku yang terdahulu. Ahh, manisku.
Entahlah.
entah pesona apa yang membuatnya begitu memikat. Padahal dia pernah menyakitiku. Tapi lalu apa? Dia yang dulu menumpahkan segala derita pahit di setiap sudut hidupku, setelah rentang waktu yang begitu lama tiba-tiba datang membawa penawar sakit.
Apa maunya? Entahlah, dia juga tidak pernah menjelaskannya.
Apa dia menyayangiku, mencintaiku? Entahlah, mungkin hanya dulu saja.
Apa mungkin jika masih ada cinta di hatinya? Entahlah, aku rasa pikirannya lebih logis untuk memilih gadis lain karena alasan jarak yang Kau (Tuhan) bentangkan di antara kami.
Aku telah menahan ratapan untuk kesekian kalinya (dan hanya sekian kali aku berhasil). Aku rasa yang kuratapi telah sama-sama berbahagia di sana, di atas lukaku. Pastilah mereka telah menemukan dunia yang baru dan aku pikir lebih indah dari ketika mereka bersamaku. Berhak apa untukku menyumpahi mereka dengan sumpah serapah agar mereka tersakiti seperti dulu aku, ketika mereka menyakitiku?
Tuhan, mereka atau aku yang bodoh?
Aku yang bahkan hanya mengandalkan persepsi negatifku tentang mereka, aku tak pernah berfikir bagaimana dulu mereka menciptakan bahagia di hatiku.
Tapi Tuhan, masih pantaskah aku mengatai semua cintaku yang dulu, kini, setelah kini, dan mungkin selamanya itu brengsek? Padahal aku tau cinta tak bisa memilih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Ayo! sisipkan sedikit komentar anda untuk menghidupkan blog ini