Minggu, 08 Juli 2012 0 komentar

Hujan Dan Cerita Kita

09 Juni 2012
Hujan adalah kenangan. Antara aku dan kamu.
Seandainya hujan mampu berucap. Pastilah ia telah membocorkan rahasiaku. Membisikkan rinduku kepadanya di setiap dentuman waktu kelabu.
Tapi hujan hanya bisu. Hanya meninggalkan jejak-jejak sembab basah.


Tidak ada sinar mentari semenjak siang tadi, hujan telah lama mengguyur sejak 2 jam lalu. Menjadi backsound ceritanya tentang lelaki yang dulu mencintainya dan hingga kini masih ia cinta. Dan aku? apa lagi bisaku? aku hanya mampu bisu dan membisu.

5 tahun bersama rupanya belum cukup menghilangkan segala canggung di hatiku guna mengungkap apa yang ingin hatiku ungkap. Aku mencintainya? ya!

Niki, gadis mungil dengan sejuta senyum yang biasa menggantung di pipinya kini tertutupi air matanya. Air mata yang ia tujukan untuk lelaki yang ia cinta. Bukan aku memang.
Aku hanya sahabatnya, yang menemaninya selama 5 tahun belakangan. Bahuku selalu menjadi sandarannya ketika air matanya tertumpah, seperti air bah.

Seperti di sebuah malam 5 tahun lalu, dia yang menangis di bahuku karena kepergian ibunya siang sebelumnya. Lalu kini dia menangis di bahuku karena seorang lelaki? AKU CEMBURU!!



"Udah Nik, buat apa kamu masih mikirin si manusia blasteran bule itu? sakit sendiri kan?" Masih dengan kacamata lensa minusku, aku menghempaskan tubuhku ke ranjang kayu berpelistur mengkilat di kamarku.

"Aku gak berusaha buat mikirin dia. Aku udah berusaha buat lupain dia, tapi percuma! sia-sia!."

"Gak ada yang sia-sia di dunia ini, kamu cuma gak mau memandang sekitar kamu. Kamu gak mau tau siapa aja yang suka, sayang, sama kamu. Yang ada di pikiran kamu itu cuma Willy" Aku mendekatinya, membelakanginya. Menghirup aroma parfum blossomnya dalam-dalam.

"is it true?" Aku berjalan ke depan, posisiku kini di sampingnya. Seakan telah menyiapkan bahu untuk ledakan tangisnya.Tapi dia hanya memandangku, lekat.

Aku mengangguk "Kamu lihat, Willy itu semacam embun. Dulu dia ngejar-ngejar kamu biar bisa deket sama kamu sedekat embun dan jendela. Tapi gak lama, dia pergi. Menguap."

"Raihan.. kamu liat deh," Niki menunjuk genangan air hujan di depan jendela kamarku "Genangan itu, itu genangan air hujan atau air mataku?," Dia melantur.

"Hujan yang jatuh di tanah kering itu seperti lem yang merekatkan celah luka di hati. Mengobatinya, kurasa."

"Seperti kamu?."

"Aku?."

"Yaa, kamu seperti segelas coklat panas di musim hujan. Menghangatkan."

"Kita hujan dan awan Nik," Aku menatap lurus ke langit yang kini kelabu. "Kamu percaya takdir?,"
Dia hanya membuang nafas berat. Aku tersenyum "Kita ditakdirkan bersama seperti hujan dan awan yang datangnya bersama-sama," Aku menatapnya, tapi tatapannya tidak bergeming dari rintik hujan "Hanya mungkin tujuan kita yang tidak sama," bisikku sambil merunduk mendekatkan bibirku ke telinganya.

Tiba-tiba ponsel Niki berbunyi, memecah kesunyian di antara kami.

"Halo? Siapa ini?," Suaranya masih sendu. "Ohh," Dia terdiam, mungkin masih mendengarkan suara si penelepon. Tapi raut wajahnya melukiskan mimik senang. Sangat senang. "bisa! aku bisa dateng" tiba-tiba katanya, dengan suara lantang. "Oke, see you" Dia menutup teleponnya dengan binar mata yang cerah.

"Siapa?," sergahku.

Dia tersenyum manis. Selalu manis memang. "Willy. Dia ngajak ketemu nanti malem jam 7"

Deg.

Aku terdiam, mulutku terkatup rapat. Entahlah, aku hanya tidak mampu berkata-kata. Cukup menyakitkan memang hanya menjadi sandaran. Resiko mencintai sahabat dekat. Sangat dekat.

"Raihan, kamu kenapa? kenapa mukamu gitu? kok kayak gak seneng gitu?" Dia cemberut.

"Oh, gak papa kok. Aku ikut seneng kok" Aku mengulum senyum.

"Kamu gak seneng! Aku tau!" Niki membentakku? Demi secuil partisipasi kebahagiaanku untuknya?

"Aku harus gimana? Aku harus senyum-senyum, jingkrak-jingkrak, gitu karena hal ini?," suaraku meninggi "Kamu pikir gimana perasaanku, hari ini kamu nangis karena dia, hari besok kamu seneng karena dia! Kapan aku ada di topik pembicaraan kamu? Sebagai sosok seperti Willy? Kapan kamu sadar aku suka, sayang, cinta sama kamu!!" Aku menghembuskan nafas kesal, kemudian melepas kacamata berbingkai hitam tipis yang menggantung di hidungku. Menaruhnya di meja kecil samping ranjangku. Aku merasa pening.

"Raihan, apa yang kamu bilang tadi?"

"Aku capek nungguin kamu! aku capek! Mungkin aku emang gak seganteng juga gak sekaya Willy, tapi aku lebih kenal kamu, aku lebih ngerti kamu," Niki menangis sesenggukkan. Aku tidak tega, tapi.. "Aku pikir cewek sama cowok emang gak akan pernah bisa jadi sahabat."

"Tapi aku.."

Aku memotong kalimatnya "Cukup Nik! aku capek banget cuma jadi bantal kamu selama ini." Kemudian aku meninggalkannya di kamar tidurku sendiri. Ya, aku terusir dari kamarku sendiri.

Beberapa menit kemudian aku melihat Niki menuruni tangga. Ketukan wedgesnya dan kayu tangga pas. Aku menoleh, memunggunginya, pura-pura tidak memperhatikannya, padahal aku melihat pantulan wajahnya pada lemari kaca di hadapanku persis.

"Aku pulang Rai.." Aku hanya mengangguk.

Aku melihat Niki yang berlari di halaman rumah, menerobos hujan. Dan tiba-tiba brakk! suara sesuatu yang tertabrak benda logam besar. Dan itu, Niki..


Harusnya tadi aku mengantarnya pulang, tidak membiarkannya berlari di bawah guyuran hujan.
Harusnya tadi aku tidak membentaknya, itu sama saja melukai hatinya.
Harusnya tadi aku mencegahnya pulang.
Harusnya tadi aku apa??


Sesaat setelah pemakaman Niki, papah Niki memberiku sebuah buku berwarna biru.
"Diary Niki, kamu yang simpan ya" Kemudia papah Niki pergi tanpa kalimat lagi.


Juni 2007
Penerimaan raport kenaikan kelas 7, dan penerimaan jenazah mamah.
Aku menangis dari siang sampai malam hingga hujan, tapi ada Raihan. Tetangga baruku :')
Dia memelukku sepanjang malam di balkon kamarku, katanya aku boleh menangis sepuasnya, tapi dia bilang itu hanya akan membuat sedih mamah. Lalu aku berhenti menangis.

13 Maret 2008
Waktu itu pukul 17.20 seingatku. Aku pulang les sendirian, terjebak hujan tidak bisa pulang. Ku putuskan menunggu, tapi hujan tak kunjung berhenti. Hingga tinggal aku sendirian di halaman bimbel.
Tapi kemudian aku melihat seorang lelaki berkacamata sebayaku berlari menembus hujan dengan payung biru. Terlihat matanya agak sipit dari balik lensa minusnya, alisnya tergaris menebal ke atas, hidungnya mancung, dagunya lancip, dia tersenyum ke arahku. Senyumnya menampakkan gigi-gigi depannya yang putih.
Kemudian dia memberiku jaket yang dia simpan di dalam tas, dan tidak dia pakai. Kami pulang bersama, menunggu bus di halte selama hampir setengah jam dan berdua saja. Dia menghangatkanku, padahal dia sendiri menggigil kedinginan, badannya basah kuyup.

14 Maret 2008
Raihan kemarin menjemutku di bimbel, dengan keadaan basah kuyup. Hari ini dia sakit, flu berat sepertinya. Aku cemas, sangat cemas.
Di sekolah aku tidak berkosentrasi, pandanganku terus terjatuh pada bangku nomor dua dari depan sebelah kiri. Lalu kuputuskan aku berpura-pura sakit. Kemudian aku pulang membeli 2 bungkus bubur kacang ijo kesukaan kami berdua (aku dan Raihan). Aku pulang, ke rumah Raihan.

Desember 2009 
Nilai semester pertama kelas 9 HANCUR!!
Untung selalu ada Sang Master, Raihan si paralel 1.

September 2010
Pulang sekolah ada berandalan yang menggodaku, aku hampir diperkosa. Beruntung Raihan menolongku, dia berkelahi, dikroyok 2 orang, Raihan menang (tentu saja, dia raja karate) tapi perutnya ditusuk 3 kali. Setiap hari aku menjenguknya di RS sampai seminggu lebih ketika lukanya sembuh.

Mei 2011
Willy, pacar 3 bulan. Putus di tengah jalan.
Beruntung aku masih memiliki Raihan. Dia menghujaniku dengan motivasi dan senyuman.

Juli 2011
Saat dimana aku sadar ada yang berubah di antara kami..

16 Desember 2011
Ulang tahunku, Raihan memberi hadiah sebuah album foto kita berdua. Dan ini adalah saat dimana aku semakin ragu tentang ikatan kita. Sahabat.
Aku kira aku mengharapkannya lebih dari itu.

April 2012
Aku merasa masih memiliki rasa cinta terhadap Willy, tapi terasa lain ketika ada di samping Raihan. 

Mei 2012 
Karin benar, AKU MENCINTAI RAIHAN.
Dan Karin mengatakan Raihan juga terlihat menyimpan rasa seperti yang kurasa. Benarkah?

3 Juni 2012
Mungkin aku salah, tapi aku memakai Willy untuk membuat Raihan cemburu.
Tapi tatapannya sama saja. Mungkin aku yang terlalu GR.


Aku menjatuhkan diri ke kursi goyang yang terbuat dari rotan di depan TV. Memandangi setiap lekuk Diary Niki. Aku seperti melihatnya tersenyum padaku. Harusnya aku sadar, itu hanya seperti.
Niki telah pergi, meninggalkan kenangan kami.



#Note
Mungkin ini cuma kisah fiksi, tapi kadang jika kita sama-sama menunggu pengungkapan atau momen yang tepat untuk mengungkapkan, kita harus bersiap kehilangan.
 
;