“Syah, aku mau ngomong penting sama kamu” katanya kepadaku di lorong depan perpustakaan sekolah
“Ngomong apaan sih Kar? Sampe segitunya”
“Penting Syah!”
“ya apaan? Bikin penasaran aja!”
“a-a-aku… argh! Susah Syah!”
“Zulfikar, tarik nafas, hembuskan, berdoa, tenang”
“a-a-aku sayang sama kamu!” katanya spontan
“haa?” Aku terperangah kaget, tapi tiba-tiba “hahaha, aku juga sayang sama kamu Kar. Kita kan udah 5 tahun kenal, kamu bro, aku sist! Gitu kan?”
“Aisyah! Bukan sayang itu! Ini sayang yang lain, pasangan! Adam & Hawa, tulang rusuk!”
“Fikar…? Kamu jangan bercanda! Gak lucu tau!”
“jujur dari setiap sel hatiku” sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk peace
“tingkat kesadaran?”
“tidak kurang 1 derajat pun! Aku sadar sepenuhnya!”
“atau mungkin kamu kena *Alzheimers mendadak?”
“I love you, do you know that?” Fikar menggenggam kedua tanganku dengan lembut, dan sekarang perasaan ranjau dalam hatiku telah lepas dan siap meledak. Namun aku tak kuasa tuk mengakui sesuatu yang kuanggap tabu, cinta.
“I don’t know” aku mengucapkannya lirih, kemudian menundukan kepalaku sambil menyembunyikan kebingungan di wajahku
“Aisyah, Say something please!”
“akh! Aku, aku gak bisa… Maaf…” aku melepas genggamannya
“sorry, aku yang salah” kata Fikar pelan kemudian berjalan pergi tanpa menengok ke belakang lagi sampai tubuh semampainya hilang seperti di telan ujung lorong. Tak ada yang keluar lagi dari mulutku, semuanya terasa kaku. Bahkan aku tak sanggup lagi memanggilnya untuk kembali, dan sekonyong-konyong aku tak sanggup lagi berdiri, kakiku gemetar dan bom perasaan yang sejak tadi kutahan sekarang telah meledak dan memuntahkan segala apa yang ada di dalamnya. Kedua lututku menyentuh tanah, buku-buku yang baru kupinjam dari perpustakaan semuanya terjatuh, bersamaan dengan terjatuhnya air mataku yang mengalir turun.
“I love you too Fikar…
Dari ubun-ubunku sampai dengan setiap sel saraf otakku, aku menyadari telah mencintaimu. Namun aku bisu, aku tak dapat mengatakan apa yang seharusnya aku katakan” tanpa terbendung lagi, kalimat itu telah keluar dari mulutku.
Begitulah kisah 2 tahun terakhir, sebelum aku benar-benar merasakan kehilangannya seperti sekarang. Seperti saat ibu asrama memberitahuku bahwa aku harus segera terbang ke Jakarta menemui Fikar.
Dan masih sangat tersimpan dengan jelas memori ketika aku memasuki kamar Edelweiys 16. Melihat tubuh ‘Adam’ yang kusayangi terbaring lemah di tempat tidur berroda, dengan banyak kabel, jarum dan selang yang melilitnya, tanpa berfikir panjang aku langsung menghampirinya. Belum sempat ada kalimat yang meluncur dari mulutku, air mataku telah mendahuluinya.
“setelah 2 tahun, baru aja ketemu, belum sempet ngomong apa-apa, udah nangis. Itukah imbalannya?” kata Fikar sambil berusaha tertawa kecil
“sejak kapan kamu sakit? Kenapa gak bilang? Jahat!”
“baru divonis 3 tahun lalu. Kenapa aku gak bilang? Aku emang sengaja”.
“kenapa?”
“aku gak mau kalo kamu lihat aku kaya gini. Kalo kamu tau, kamu pasti takut, kamu pasti jijik lihat aku yang botak, kurus, jelek”
“aku gak peduli!”
“tapi aku peduli. Aku peduli sama apa yang kamu lihat dari aku, dan aku mau kamu melihat yang terbaik dari aku sebelum akhirnya aku maupun kamu gak bisa saling melihat lagi”.
Aku mendekatinya semakin dekat, dan perlahan menggenggam jemarinya yang hanya tersisa tulang dan kulit saja “kenapa sulit sekali untuk bilang cinta? Apa pernyataan cintaku 2 tahun lalu baru bisa kamu rasakan sekarang, ketika aku sekarat?”
“aku bingung” jawabku lugu
“kenapa?”
“kenapa kamu pindah? Gak bilang alasannya sama siapapun pula. Kamu menghilang sangat misterius! Hebat! Tanpa meninggalkan jejak sama sekali”
“kamu marah?”
“sangat!”
“maaf”
“gak perlu!”
“dulu aku pindah, cuma mau cari sekolah yang deket rumah sakit”
“apa harus di Jakarta?”
“perlengkapannya lebih memadai. Emm, aku di sini dapet peringkat 1 paralel loh! Hebat yah? Tapi sayang, kanker otakku lebih ganas. Mungkin karena aku pinter banget kali ya? hehehe”
“gak ada yang lucu Fikar…” air mataku terjatuh lagi
“Aisyah, sebenernya aku ingin melamarmu suatu saat nanti, tapi umurku pendek, dan umurmu masih bisa diperhitungkan panjang, dan sekarang umur kita masih muda, kan gak mungkin banget ya aku ngelamar kamu sekarang? Hahaha, maaf yah? sejak kanker otak itu muncul, pemikiranku suka aneh-aneh”
“kenapa ngomong gitu? Cuma Allah yang tau umur seseorang”
“buktinya dia sudah menungguku”
“dia siapa?” tanyaku
“Kita diciptakan dari tanah, dan suatu saat akan kembali ke tanah. Allah menciptakanku dengan kasih-Nya, dan suatu saat aku ingin kembali kepada-Nya dengan Kasih-Nya pula,” kata Fikar dengan tetap berusaha menyunggingkan senyumnya, walaupun aku tahu begitu sulit baginya untuk melakukan itu. Terlihat dari mimik wajahnya yang seperti menahan sakit. Seketika itu juga jemariku gatal untuk menekan tombol untuk memanggil dokter, namun genggaman tangan Fikar terlalu kuat.
“aku bosan, aku benci sama morfin! Sekarang aku kangen sama kamu, dan kalo dokter suntikan morfin itu lagi aku gak akan bisa ngerasain kamu lagi. Detak jantung kamu, CO2 kamu, wajah kamu, semua tentang kamu! Aku gak mau semua itu lenyap seketika Aisyah”
“tapi kamu…”
“ssttt… dia datang, mendekat. Bacakan syahadat untukku, bantu aku,” aku mendekatkan bibirku ke telinganya, dan mengucapkan kalimat syahadat yang kemudian ia ikuti. Beberapa detik kemudian matanya mulai menyipit, dan genggaman tangannya mulai melemah. Dan dia pergi dengan tersenyum sambil menoleh ke kanan.
Dan sekarang, aku hanya bisa mengunjungi persinggahan terakhir jasadnya. Sambil menabur bunga dan mendoakannya, semoga di sana dia bisa menemukan bidadari yang mencintainya dengan sungguh-sungguh. Tidak seperti aku yang menyia-nyiakannya cintanya 2 tahun lalu.
TAMAT
*Alzheimers :
Sejenis kepikunan yang dapat melumpuhkan pikiran dan kecerdasan seseorang.
Dan timbul karena adanya degenerasi sel-sel neuron otak.
0 komentar:
Posting Komentar
Ayo! sisipkan sedikit komentar anda untuk menghidupkan blog ini